BekasiEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi tengah menggulirkan rencana ambisius yang bertujuan untuk mengoptimalkan anggaran daerah melalui kebijakan Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kebijakan yang rencananya akan diterapkan pada tahun anggaran baru 2026 ini diharapkan dapat menghemat biaya operasional kantor hingga 35 hingga 40 persen.
Sebuah target yang cukup besar dan menarik perhatian, namun tak sedikit tantangan yang harus dihadapi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bekasi, Junaedi, menjelaskan bahwa meskipun angka penghematan pastinya masih dalam tahap evaluasi, pihaknya optimistis bahwa kebijakan WFH bisa membawa efisiensi yang signifikan. “Kita belum tahu persentasenya berapa, nanti kita lihat dulu.
Tujuan kita adalah untuk melihat efisiensi, nanti kita evaluasi setelah implementasi,” ujarnya saat ditemui di Stadion Patriot Candrabhaga, usai kegiatan senam pada Selasa (04/11).
Namun, meskipun rencana ini terdengar menarik dari sisi penghematan anggaran, kebijakan tersebut bukan tanpa hambatan.
Junaedi juga menyatakan bahwa, meskipun target penghematan yang ingin dicapai cukup besar, Pemkot Bekasi tetap perlu berhati-hati dalam menyusun implementasinya.

“Mudah-mudahan kita bisa menghemat antara 35 hingga 40 persen, tapi itu masih dalam evaluasi,” tambahnya.
Penyesuaian Pasca Kebijakan Pemprov Jabar: Efisiensi atau Risiko Terabaikannya Pelayanan?

Kebijakan WFH yang tengah digodok oleh Pemkot Bekasi merupakan langkah penyesuaian setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) mengadopsi kebijakan serupa.
Dengan latar belakang ini, Pemkot Bekasi seakan ingin mengikuti jejak Pemprov Jabar dalam menekan biaya operasional, namun juga berupaya mencari pola kerja yang lebih efisien menjelang tahun anggaran 2026.
Namun, meski penghematan anggaran menjadi tujuan utama, Pemkot Bekasi juga harus memastikan bahwa kebijakan WFH ini tidak berdampak negatif terhadap pelayanan publik. Hal ini menjadi poin kritis karena tidak semua sektor pemerintahan dapat dilaksanakan dengan fleksibilitas lokasi kerja seperti itu.
Junaedi menegaskan, kebijakan WFH tidak akan diterapkan secara seragam bagi seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Pelayanan yang bersifat esensial, seperti bidang kesehatan, kebersihan, pemadam kebakaran (damkar), dan Dinas Perhubungan (Dishub), tetap harus berjalan seperti biasa tanpa pengurangan personel.
“Kegiatan dengan pelayanan rutin seperti kesehatan, kebersihan, damkar, dan Dishub itu harus diatur. Tidak boleh ada WFH secara menyeluruh untuk sektor-sektor ini,” tegas Junaedi.
Ini menunjukkan bahwa Pemkot Bekasi tetap mengutamakan pelayanan yang tidak boleh terganggu oleh kebijakan baru tersebut.
Mengatur WFH Secara Efektif Tanpa Mengorbankan Kualitas Pelayanan
Mekanisme WFH yang tengah dirancang oleh Pemkot Bekasi bertujuan agar kegiatan pelayanan publik tetap berjalan dengan lancar meski sejumlah ASN bekerja dari rumah.
Junaedi menyatakan bahwa penyesuaian ini akan dilakukan secara bertahap, di mana ASN akan dibagi dalam kelompok waktu untuk bekerja dari rumah, agar tidak ada kekosongan dalam layanan.
“Penerapan WFH ini harus berbagi waktu, supaya tidak ada kekosongan dalam pelayanan publik. Ini yang perlu kita tekankan,” kata Junaedi.
Pembagian waktu yang dimaksud tentu harus disusun dengan baik agar setiap sektor pelayanan bisa tetap berjalan dengan maksimal, sementara anggaran operasional kantor bisa ditekan secara signifikan.
Namun, tantangan dalam hal koordinasi dan pengawasan tentu tak bisa dianggap remeh.
Jika tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, pembagian waktu yang tidak efektif dapat mengakibatkan penurunan kualitas layanan publik.
Untuk itu, Pemkot Bekasi harus memastikan bahwa ada sistem pemantauan yang dapat mengevaluasi kinerja ASN selama penerapan WFH.
Antisipasi Potensi Penyalahgunaan Kebijakan WFH
Salah satu kekhawatiran yang paling nyata adalah potensi penyalahgunaan kebijakan ini oleh oknum ASN yang tidak bertanggung jawab.
Dalam setiap kebijakan yang melibatkan fleksibilitas kerja, selalu ada kemungkinan bahwa sebagian individu akan menjadikannya alasan untuk tidak bekerja secara maksimal.
Junaedi pun secara terbuka mengakui adanya potensi ini, dan menyatakan bahwa Pemkot Bekasi akan terus memantau situasi dan kondisi di lapangan. “Kita lihat dulu situasi dan kondisinya.
Ya, kalau dimulai dengan WFH, (harapannya) kalau bener-bener teman-teman pada kerja. Kadang-kadang ada yang jadikan WFH itu alasan untuk tidak bekerja,” ujarnya.
Penyalahgunaan semacam ini tentu akan sangat merugikan, baik dari sisi produktivitas ASN maupun dari sisi pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, Pemkot Bekasi perlu menyusun sistem pengawasan yang lebih ketat, seperti laporan rutin mengenai kinerja ASN yang bekerja dari rumah, agar tidak ada yang memanfaatkan kebijakan ini untuk menghindari tugas.
Keberhasilan Bergantung pada Implementasi yang Matang
Kesuksesan dari kebijakan WFH di Kota Bekasi akan bergantung pada dua hal utama: efisiensi yang dapat dicapai dalam penghematan anggaran, dan kualitas pelayanan publik yang tetap terjaga.
Rencana untuk menghemat hingga 40 persen biaya operasional kantor adalah target yang ambisius, namun jika diterapkan dengan cermat, hasilnya bisa sangat positif.
Namun, jika kebijakan ini gagal dalam implementasi—terutama jika terjadi penurunan kualitas layanan atau penyalahgunaan oleh oknum ASN—maka tidak hanya penghematan anggaran yang bisa terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap Pemkot Bekasi.
Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan melihat sejauh mana Pemkot Bekasi bisa menyeimbangkan antara penghematan anggaran dan kualitas pelayanan publik.
Jika berhasil, kebijakan ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang juga menghadapi tantangan efisiensi anggaran.
Namun, jika gagal, tantangan besar dalam menjaga produktivitas ASN dan kualitas pelayanan publik akan menjadi pelajaran berharga untuk langkah selanjutnya. | BekasiEkspress.Com | */Redaksi | *** |
oke