BekasiEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Rebana bukan sekadar alat musik tradisional. Ia adalah simbol semangat religius, ruang ekspresi budaya, dan—jika diarahkan dengan benar—medium pemberdayaan sosial. Di tangan para perempuan majelis taklim di Belitung Timur, rebana bisa menjadi lebih dari sekadar suara pukulan ritmis dalam acara-acara keagamaan. Ia bisa menjadi gerakan.
Namun, berdasarkan penelusuran tim investigasi kami, hingga Oktober 2025, belum ada roadmap atau program pengembangan seni budaya berbasis komunitas perempuan yang terpadu di Kabupaten Belitung Timur. Artinya, potensi yang ditunjukkan dalam pelatihan rebana yang baru-baru ini digelar, berisiko menguap tanpa bekas jika tak diiringi kebijakan dan ekosistem yang mendukung.
Rebana Bisa Jadi Embrio Gerakan Sosial
Kegiatan pelatihan rebana yang diselenggarakan oleh Pemkab Beltim dan diikuti oleh anggota BKMT dari berbagai kecamatan adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, jika hanya berhenti di pelatihan satu kali dalam setahun, lalu difoto, diliput, dan dilupakan, maka esensi pemberdayaan tak pernah benar-benar terjadi.
Beberapa hal yang bisa menjadi kelanjutan konkret dari program ini antara lain:
- Pemberian alat musik rebana ke kelompok majelis taklim secara merata, terutama di desa-desa pelosok yang memiliki antusiasme tinggi tapi minim fasilitas.
- Pelatihan lanjutan oleh pelatih profesional, bukan hanya relawan internal, untuk meningkatkan kualitas musikal dan teknik bermain rebana.
- Festival seni religius tahunan yang mengundang partisipasi lintas usia dan desa sebagai panggung apresiasi dan regenerasi.
- Integrasi kegiatan rebana dalam program literasi keagamaan, seperti pembinaan syair shalawat, sejarah Islam, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Tanpa pendekatan sistemik seperti ini, pelatihan rebana akan berakhir sebagai agenda rutin tanpa keberlanjutan, alias seremonial musiman yang minim dampak jangka panjang.
Pemberdayaan Perempuan: Masih Jauh dari Kata Tuntas
Perempuan di Belitung Timur, terutama yang tergabung dalam majelis taklim, sebenarnya menyimpan potensi besar. Mereka punya waktu, komunitas, bahkan komitmen. Namun, selama ini mereka lebih banyak diam karena kurang diberi ruang.
Pemkab Beltim memiliki peluang emas untuk menjadikan program rebana ini sebagai pintu masuk ke pemberdayaan perempuan yang lebih luas. Bukan sekadar lewat pelatihan, tapi melalui kebijakan kultural dan anggaran yang berpihak.

Perlu diingat, bicara seni religius bukan hanya soal panggung, seragam, dan piala lomba. Tapi tentang identitas budaya yang hidup dan tumbuh dari akar masyarakat.
Suara Rebana yang Perlu Didengar Lebih Jauh
Suara rebana memang bisa menggetarkan langit-langit masjid. Tapi ia juga seharusnya bisa menggetarkan ruang-ruang kebijakan. Ia bisa menjadi simbol bahwa perempuan desa, ibu rumah tangga, dan komunitas keagamaan bukan hanya penerima manfaat, tapi juga aktor perubahan.

Pertanyaannya kini: akankah Pemkab Beltim menangkap momentum ini, atau membiarkannya lewat begitu saja?
Karena angin memang bisa membawa harapan. Tapi tanpa arah, tanpa peta, dan tanpa kemudi, angin hanya akan menjadi hembusan yang tak ke mana-mana.
Jika Anda ingin mengembangkan narasi ini menjadi serial liputan, feature mendalam, atau bahkan opini kebijakan, saya siap bantu bantu mengembangkannya.